Nyanyian Kesunyian


Semburat sunyi kembali memuncrat
Aku bingung, kemana?untuk apa?
Lalu ia dengan kokoh mencabik beberapa patahan
Dan mengendapkannya dalam diam terdalam

Apa aku mengerti?
Tidak, sekali lagi aku bukan sunyi
Sebab ia laknat, pengkhianat..!
Seperti bersembunyi dalam ruang keramaian

Akh,,,,
Dasar waktu,,
Aku kehabisan nafas untuk hirup
Sebingkis udara pun tak berpunya,
Lalu untuk apa harus didikzir?

Di sana seribu tanya menganga
Lalu luka itu terlanjur kau lepuhkan seketika
Aku tahu, kau akan renta bahkan lelah
Tapi itu aku sembunyikan sebagai impas juang

Aku Pejuang..itu kata mereka.!
Tapi mereka dengan laknat menghujamkan pedang-pedang kecemburuan
Lalu memantik kata-kata promosi sebagai provokasi

Akhh..Bumi penuh bangkai, penuh amis
Apa kita harus diam?atau malah menghujam?
Jangan, biar aku yang memendam.!

Tanah Tanjung Bunga, 2019

Mimpi Basi

M

Oleh: Victorianus Hokon

☆ ☆ ☆

Langit jingga, berangsur kelam
Gemintang sungut semangat nampak
Tak hanya dia, si raja malampun turut apit langen
Ahhh,,,mereka nampak mesra malam ini

Masih disini,..
Ketika para jago hendak mengintai pohon
Mimpi masih begitu jauh pada ujung entah
Di simpang-simpang bimbang
Yang kapan? Benak kian mengadu…

Alam, adakah sedetik kau rayuku?
Kidungkan sendu rindumu,
Biar angan saja, tak apa!
Agar aku boleh lelap dalam mimpi basi ini.

Kisahku masih belum seberapa,
Bangkai baikku belum dicium,
Aku mohon alam,,,
Sembelilah mimpi-mimpiku itu, biar esok aku boleh memanggangnya tuk mereka.

Waiklibang, 13 Januari 2019
Mata pena 20:32

Catatan sejarah dan asal-usul

Sampai detik ini, saya masih bingung, kenapa dan mengapa saya disini.
Cukup malu bila ditanyakan suku, alamat dan sejarah karena suku saya bertentangan dengan tempat tinggal saya sekarang.
Bukan mau menyingsing dan menyangkal soal domisili saya sekarang, tapi saya mau melihat, menggali darimana asal saya dan siapa leluhur saya.
Kebetulan masa libur, saya berbincang sekaligus mencari tau asal usul “nolo wahan”(dahulu kala)suku saya(Hokon), bersama kakek ku Lukas Dao Hokon,di kediamannya dusun Keka, Sogekewa, desa waibao, Riangpuho.

Seketika piluh bercampur sedih mengalir disekujur tubuhku.Saya adalah manusia, juga nenek moyangku, “kokak nenek”(leluhur)tapi mengapa kami diperlakukan sebagaimana layaknya seperti manusia lain.
Tapi piluhnya nenek moyangku disaat itu, mereka diperlakukan lebih dari seekor binatang yang tak punya arah dan pilihan hidup.

Dengan linangan air mata, dengan penampilan yang rapuh dilahap usia kakek ku bercerita,
“Dahulu moyang kita pertama adalah Da dore Ina bersama suaminya Lewe berasal dari lewo Hokohoriwura Adonara. Setelah itu pinda ke Tanjung Bunga, di Lamaojan sekarang desa Bahinga.
Hidup berkebun dan berladang disitu, sekitar kurang lebih 4 tahun. Bersama berlalunya waktu, mereka memutuskan untuk mencari Tanah sendiri, yakni berpergian ke Maluku.
di sana meraka tinggal di sebuah kampung yang bernama Kroko Puke Kemaha Nimu selamah kurang lebih 2 tahun. Mereka belum juga menemukan apa arti sebuah kebahagiaan, sehingga pulang kembali ke Tanjung Bunga dan menemukan sebuah lahan yang masih kosong di ujung Tanjung Bunga, yang kemudian bercocok tanam, berladang di lahan tersebut. Waktu itu mereka belum punya keturunan, dan dihitung masih warga desa Bahinga.

Karena gaya hidup leluhur pada waktu itu lebih memilih tinggal dan menetap di kebun. Seirama dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama ‘Hadigala Prasik Ama Howa Da Dore Ina’ dan dari dialah dibekali sebuah kekuatan “Mola mata”(dukun) oleh “lerawula”(Tuhan sebutan orang Lamaholot) yang sampai sekarang turun temurun dalam suku kami (Hokon).
Anak ini(Hadigala…) lahir tidak seperti Bayi lainnya, karena ketika dilahirkan, saat tubuhnya menyetuh di tempat tidur, sebuah keajaiban tibah, tempat tidur itu roboh dan dia tembus ke tanah. Setelah diangkat kedua tangannya terkatup dan tidak bisa dibuka, oleh orang dewasa sekalipun. Kedua orang tuanya cemas dan memanggil orang tua adat melakukan seremonial, barulah dia membuka tanganya. Semuahnya tercengang dan heran ketika melihat hal itu, karena yang digenggamnya adalah “Ramut”(dua potongan akar) yang mana adalah bekal kekuatannya.

Kembali ke cerita awal, Lewe dan istrinya Da dore ina, mereka hidup bahagia bersama putranya.
Berkebun-melaut sebagaimana kebiasaan hidup leluhur dulu.
Suatu ketika Lewe melaut mendapat seekor Penyu. Karena menjadi sebuah kewajiban bahwa ketika mendapatkan hasil laut seperti Penyu, ikan besar, harus dibagikan ke semuah warga, sehingga Lewe memanggil Ama Koten, ama Maran dari lewo Lamaojan datang untuk turut mengambil bagian. Juga sebuah tradisi bahwa hasil laut itu harus dipotong di atas korke(Rumah Adat), karena pada waktu itu korke belum ada, maka mereka bersepakat untuk mendirikan Korke disitu. Tapi secara kepemilikan, tanah itu merupakan milik Raja Kinu, sehingga Lewe membeli Tanah itu untuk membangun korke tersebut dengan sebuah (Nowi Kera Gora)sarung dahulu yang dianggap berharga dan memiliki kekhasan unik.
Ketika korke berhasil dibangun semuah diwajibkan makan bersama dalam Korke tersebut (sekaligus memberi makan Korke)
Pada saat makan, Lewe sebagai “Ema Tua Bapa Raja”(selaku penemu Tanah atau Tuan Tanah),”ge mio heti ono, pau mio ketilo gotak mio belaba” (makan didalam korke), sedangkan koten-maran selaku “Kuna naba meka beka naba mao bao” (pesuru atau hamba), “meka kame lali tanah menu lali eka, huke kame tanah, hela kame eka” (makan di atas tanah), dan dari situla kenapa sekarang suku koten-maran yang mempunyai wewenang (Huke Tanah)”memberi makan Tanah”.

Dari situlalah lewe berhasil mengubah lahan tersebut menjadi sebuah kampung yang kemudian dinamai Riangkeroko, yang mana nama lain dari (Kroko puko kemaha nimu) nama yang diambil dari nama kampung dimaluku yang mereka diami sebelumnya. Mereka hidup disitu, beranak cucu hingga datang kemalangan menghampiri.
Kala itu sampai pada keturunan ke lima ketika (Mao) melahirkan (Suban), dan Suban lah yang dihadang petaka itu. Karena kampung itu sudah cukup padat, maka sulit mendapatkan lahan untuk bercocok tanam, sehingga Suban memutuskan bercocok tanam di tanah milik kampung keka. Sebagai kesantunan bahwa jika mengolah dan bertanam diatas tanah orang, pantas dan wajib, harus meminta ijin kepada pemiliknya. Suban dengan sopan meminta ijin kepada Keka untuk berkebun, tapi itu dianggap hina oleh sesama Riangkroko sehingga Dia di usir dan di singsingkan dari kampungnya. Menurut mereka itu tanah milik mereka sehingga tidak usa meratap dan menyembah mereka, tanah itu yang sekarang masih diperebutkan. Suban dengan rela menerima itu, pinda dan membangun Rumah di pesisir pantai Nipa, namun mereka tidaklah puas sehingga terus menyingsingkan dia dengan membakar Rumahnya. Suban tabah dan terus berpinda ke pesisir Kaba, juga masih terus di ikuti, mereka dengan kejam membongkar gubuknya. Hingga suatu saat Sesama kampung tetangga Keka, merasa ibah dan kasihan sehingga menawar dan merelakan Dia untuk tingal di kampungnya Keka. Itupun masih terus dikejar, mereka datang dan memaksa Dia untuk kembali pulang, namun Dia dengan lantang mengatakan, “Saya tidak membuang kampung sendiri tapi perlakuan kalian seolah menganggap saya sebagai seorang asing, saya tetap disini”. Dari situlah Suban dan keluarganya menetap dan tinggal di kampung keka hingga sekarang, dan beranak cucu sampai kami ini, dan ketika masuk untuk tinggal di kampung Keka, Suban mendapat restu oleh leluhur dengan masuk ke Korke. Tidak hanya itu, tapi Sebagai bentuk hormatnya dia menyiapakan seekor kambing sekaligus sebagai sumbangannya untuk leluhur Tanah Keka. Sehingga sejak saat itu Suban menjadi warga keka begitupun kami anak cucunya “.
Jiwaku sekejab luruh, retak oleh piluh, karena kenapa saya diusir dari Tanah sendiri?
Adakah saya bisa Kembali?